Segi pertama pemerintah pusat.
Setelah diduga banyaknya Mala praktek penyelewengan perizinan di daerah, pemerintah pusat menilai penyelewengan tersebut akan menghambat investasi guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sehingga, pemerintah pusat mengambil alih pengeluaran izin tersebut tidak lagi di pemerintah daerah melainkan terpusat di kementrian pemerintahan pusat. Namun, hal ini kembali menimbulkan permasalahan baru, yaitu terkesan ugal-ugalan dan menerabas apapun asalkan investasi jalan terus. Mengapa demikian, ya itu tadi permasalahan angkutan yang tidak diperhitungkan dengan kemampuan penampungan jalan sehingga muncul kemacetan yang menjadi permasalahan utama. Tentu, pemerintah pusat sangat terbatas untuk mengetahui permasalahan ini dibanding pemerintah daerah, namun, pemerintah daerah menjadi sasaran empuk kemarahan pihak yang di rugikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Segi kedua, yaitu pemerintah daerah.
Dengan keterbatasan wewenang, PEMDA Hanya mampu menghadirkan solusi yang bersifat hanya dosis penenang sementara.
Contoh saja ketika mahasiswa melakukan demonstrasi terkait kematian beberapa mahasiswa yg di sebabkan oleh angkutan batu bara. Pemda kemudian mengeluarkan peraturan maksimum tonase dan jam operasi angkutan.
Sejenak permasalah itu redam, namun tidak berselang lama, kembali sopir batu bara berduyun-duyun datang ke kantor gubernur Jambi untuk menyuarakan aspirasinya. Lalu apa yg di lakukan pemerintah?
Melonggarkan aturan sehingga tidak terlalu ketat. Di samping itu, karena begitu seksi isu tentang batu bara ini kepala daerah yang tentu sebagai makhluk politik kerap kali ini menganggap ini sebagai market masa untuk memenangkan pilkada. Sehingga datang lah ia dengan sosok yang menjanjikan solusi terhadap permasalahan ini, Syahdan ia mendapat simpati dari sebagian besar masyarakat. Namun, dengan kondisi wewenang dan minimnya anggaran APBD Jambi telah niscaya semua itu hanya dongeng sebelum tidur saja.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya