Ultimatum news,MUARO JAMBI – Pointer terakhir daripada amanat konstitusional Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2099 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dijelaskan bahwa keputusan tata usaha negara menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Hal tersebut terkesan tidak berlaku untuk Keputusan Bupati Sarolangun Nomor 296/DLH/2022 tertanggal 17 Oktober 2022 tentang Penetapan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah kepada PT.BPS yang ditanda tangani oleh Pejabat Sementara Kepala Daerah setempat.
Keputusan tersebut diambil disebabkan karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan menyangkut lingkungan hidup yang dilakukan oleh pihak korporasi yang bergerak di bidang industri pengolahan hasil perkebunan kelapa sawit tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penetapan keputusan upaya paksa itu sendiri terkesan menunjukan Pemernitah setempat tidak berdaya untuk melakukan tindakan penegakan hukum dengan mengedepankan azaz pembangunan berkelanjutan (Sustainable development) dan azaz Pembangunan manusia yang berkelanjutan (sustainable human development) serta terlihat lebih cenderung merupakan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat umum.
Serta lebih mengarah pada adanya pemikiran untuk memberikan kesempatan mempergunakan dalil berupa alasan pembenaran ataupun alasan pemaaf terhadap perbuatan yang telah terbukti secara syah dan meyakinkan di hadapan kekuasaan Kepala Daerah dengan terbukti adanya beberapa perbuatan melawan hukum pada ranah hukum yang berkarakter atau bersifat khusus yaitu sebagaimana azaz dan norma atau kaidah hukum lingkungan hidup.
Suatu keputusan yang jauh dari pengertian keadilan dan dinilai melupakan akan norma atau kaidah kehidupan sosial yang menentukan bahwa kwalitas sebuah kebijakan publik menentukan nasib dan kwalitas kehidupan rakyat, atau sesuatu kaum ataupun bangsa.
Setidak-tidaknya Keputusan Bupati yang dimaksud memuat 3 ktiteria pelanggaran yang telah dilakukan oleh pihak korporasi dengan salah satunya sebagaimana yang tercantum pada angka 4 ke tiga Dictum Memutuskan yang menjelaskan adanya perbuatan yang berhubungan erat dengan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL).
Entah apa dasar penetapan pelanggaran tersebut adalah terhadap ketentuan RKL-RPL, dan Keputusan Bupati yang dimaksud seakan-akan menafikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, serta terkesan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan warga masyarakat desa-desa yang terkena imbas dari adanya perbuatan melawan hukum dimaksud.
Bupati sepertinya tidak memahami bahwa secara normative yuridis Amdal bukanlah alat untuk menguji lingkungan setelah program atau proyek selesai dan operasional. Sebab setelah program atau proyek selesai lingkungan telah berubah.
Sehingga garis dasar seluruhnya atau sebagian telah terhapus dan tidak ada lagi acuan untuk mengukur dampak. Amdal seyogyanya tidak saja digunakan untuk program atau proyek yang bersifat fisik, melainkan juga untuk yang bersifat non-fisik, termasuk usulan produk legislatif.
Kebijakan memberlakukan keputusan tersebut seakan-akan memberikan perlindungan hukum terhadap pemberlakuan sanksi pidana lingkungan yang salah satunya diatur dengan ketentuan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman hukuman berupa pidana penjara paling singkat 3 (Tiga) tahun dan paling lama 10 (Sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (Tiga Miliar Rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar Rupiah).
Oleh: Jamhuri-Direktur Eksekutif Sembilan