Gambar dikutif dari Antara News edisi 1 Seprember 2022
Ultimatum.id,JAMBI- Kepanikan memiliki awal kata dasar Panik dan kata tersebut (panik) diambil dari mitologi Yunani, tepatnya kata Pan, yakni nama seorang dewa yang dikenal sebagai dewanya para gembala. Dimana pada keadaan biasa, ia akan berkerja dengan tenang menggembala dombanya. Namun, jika dikagetkan dari istirahatnya, maka ia bisa berteriak keras, dan menciptakan kekacauan besar.
Selanjutnya Pan dipakai menjadi kata Yunani Panikos (Merriam-Webster) Artinya adalah ketakutan yang muncul tiba-tiba. Ini lalu menjadi kata Panic di dalam bahasa Inggris, dan panik di dalam bahasa Indonesia. Secara singkat, panik adalah perasaan ketakutan yang amat mencekam serta terjadi mendadak. (Adriana, 2010).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan historis seperti itu dapat disimpulkan bahwa terminologi Panik adalah rasa takut yang mengguncang tubuh. Dalam kondisi panik manusia akan kehilangan pemikiran yang logis, akal sehat tertutup kabut emosi yang berlebihan. Kecemasan yang akan mendorong manusia ke naluri purbanya, yakni menyelamatkan diri dengan segala cara.
Panik tidak mengenal ruang lingkup dan kedudukan serta jabatan atau dengan kata lain tidak pandang bulu baik masyarakat umum, penyelenggara negara maupun pejabat negara semua akan diserangnya, hanya bentuk dan nuansa kedatangannya yang membedakan antara ketiga golongan penerima serangan kepanikan.
Terhadap Penyelenggara Negara dan Pejabat Negara kepanikan menyerang dari sisi rasa takut yang berlebihan yaitu takut kehilangan kedudukan dan jabatan dan takut jatuh miskin seiring dengan hilangnya kedudukan, jabatan dan kekuasaan, serta takut masuk penjara karena salah dalam mengelola dan mengurus serta salah memberikan arti terhadap Keuangan Negara.
Memperhatikan sejumlah kebijakan yang diambil dan dilakukan oleh Gubernur Jambi dan dengan merujuk pada defenisi panik sebagai mana diatas maka dapat disimpulkan suatu pendapat bahwa kebijakan tersebut termasuk pada kategori panik, dimana kebijakan diambil dengan kondisi sedang berada dalam kepanikan.
Salah satu bentuk dan wujud kepanikan dari Pemerintah Daerah Provinsi Jambi disebabkan ketidak mampuan mengatasi kemelut menyangkut angkutan Batubara, karena paniknya Gubernur Jambi melakukan tindakan yang merubah hierarki hukum dengan menerbitkan dan memberlakukan Surat Edaran Nomor : SE. 1165/DISHUB-3.1/V/2022 tentang Pengaturan Lalu Lintas Angkutan Batubara di Provinsi Jambi.
Surat Edaran tersebut disinyalir sebagai tindakan kembali kepada fase purba sebagaimana defenisi panik yaitu fase kembali kepada naluri purbanya, yakni menyelamatkan diri dengan segala cara, yang menghasilkan bisikan naluri diluar nalar memberlakukan Surat Edaran yang dinilai akan mengesampingkan Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2012 tentang Pengaturan Pengangkutan Batubara dalam Provinsi Jambi dan Peraturan Gubernur Nomor 18 tahun 2013 tentang tata cara Pengangkutan Batubara dalam Provinsi Jambi, serta Surat Edaran (SE) Gubernur tersebut disinyalir tidak lagi mempertimbangkan tentang status penguasaan jalan tersebut, yang mana jalan sebagai aset ataupun jalan negara, jalan provinsi dan jalan Kabupaten/Kota.
Ternyata Surat Edaran yang semula dianggap sebagai suatu kekuatan hukum mengikat ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah bahkan terkesan tidak berpengaruh sama sekali, jangankan untuk merubahkan keadaan, berpengaruh pun tidak. Tindakan hukum atau kebijakan yang telah dilakukan oleh Gubernur tersebut jauh dari menyentuh pokok persoalan atau substansi masalah yang sebenarnya apalagi untuk menyelesaikan masaalah atau jauh panggang dari api.
Kepanikan demi kepanikan datang silih berganti,
Gubernur Jambi beserta dengan Kabinet Jambi Mantapnya, kembali diterpa kepanikan sehingga setelah memberlakukan Surat Edaran tersebut kembali menjanjikan akan mengalokasikan Anggaran sebesar Rp. 50.000.000.000,00 (Lima Puluh Miliar Rupiah) guna mengatasi persoalan jalan khusus bagi angkutan Batubara, yang kemudian ditetapkan dengan sebutan sebagai jalan alternatif untuk mengurai kemacetan lalu lintas yang terjadi. Kalimat pada sebutan nama jalan tersebut bersifat tendensius dan merupakan cara agar aman dan selamat dalam penggunaan anggaran yang diawali dengan kepanikan.
Padahal sebelumnya pihak PT Putra Bulian Properti (PBP) Sebagai pemenang lelang tender telah mengucurkan anggaran sebesar Rp1,2 triliun untuk bangun jalan khusus angkutan batu bara di Jambi secara bertahap dan pada Kamis, 1 September yang lalu telah dilakukan ground breaking (awal pembangunan) yang dipusatkan di Desa Sakean Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi sebagai titik tengah trase (rute).
Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Biro Perekonomian dan Sumber Daya Alam (PSDA) Setda Provinsi Jambi dihadapan wartawan yang mengatakan bahwa “Lokasi awal yang dibangun pihak investor nantinya adalah rute Dusun Mudo sampai Tempino di Kabupaten Muaro Jambi,” Tidak ditemukan penjelasan atau tidak dijelaskan kenapa jalan alternatif sebagaimana diatas tidak termasuk didalam (incloude) pada anggaran investasi yang dikucurkan oleh pihak pemenang tender jalan khusus dimaksud.
Sejauh mana ungkapan tersebut memiliki Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Akuntabilitas serta Kredibilitas dan Kompetensi Jabatan pembuat kebijakan sebagaimana konsep Azaz – Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Diprediksi kebijakan penunjukan pihak pelaksana pembangunan jalan khusus tersebut tidak memiliki kajian ilmiah dan kajian hukum apapun sama sekali,baik menyangkut alas hak atas tanah yang akan dilalui, maupun bentuk ataupun pola kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jambi dengan pihak investor apakah Build Operate Transfer (BOT) ataupun Bangun Guna Serah ataukah Build,Transfer,Operate (BTO) ataupun Bangun Serah Guna serta tentang Kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah.
Kebijakan lainnya menyangkut angkutan Batubara yang tergolong merupakan kebijakan panik yaitu merencanakan pengerukan Sungai Batanghari tetap dengan peruntukan bagi angkutan material yang sama yaitu Batubara. Entah mana kebijakan yang benar – benar tepat bagi penyelesaian polemik angkutan kekayaan negara atau sumber daya alam tersebut. Sejumlah kepanikan Gubernur tersebut ditenggarai disebabkan karena ketidak mampuan ataupun rendahnya kompetensi kabinet pembantu kerja yang bersangkutan sebagai pejabat negara yang berkompeten dalam urusan pengelolaan Perekonomian dan Sumber Daya Alam (PSDA).
Kepanikan Pemerintah Provinsi Jambi berikutnya tergambar dengan tindakan melayangkan surat kepada pihak Kejaksaan Tinggi Jambi dan kepada pihak Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jambi dengan surat Nomor : S-2714/DPUPR-5.2/X/2022 tertanggal 06 bulan Oktober tahun 2022 dengan pokok surat berupa Permohonan Rekomendasi (PPS) Untuk Pekerjaan Pembangunan Jalan Simpang Karmeo – Kilangan pada PBD Perubahan Tahun Anggaran 2022.
Merujuk pada pokok surat sebagaimana diatas, jelas surat tersebut memberikan gambaran bahwa perencanaan penggunaan APBD tidak berjalan sebagaimana mestinya baik pada saat pembahasan di Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) maupun pada Badan Anggaran (Banggar) Legislatif dan kalimat tersebut menunjukan suatu gambaran adanya pemikiran penggunaan keuangan daerah atau negara yang terpikirkan dalam kondisi mengalami kepanikan.
Kepanikan berikutnya tergambar dari isi surat dengan kalimat pada alinea keempat surat tersebut mengharapakan rekomendasi dari pihak Kejaksaan Tinggi dan BPKP memberikan pendapat hukum (Legal Opinion) agar tindakan Pengamanan Pembangunan Strategis (PPS) dan penggunaan anggaran tesebut dapat dijadikan halal. Sepertinya pihak Pemerintah Provinsi Jambi lupa dengan pandangan Kalau benar kenapa harus gentar, kalau bersih kenapa harus risih. Inti dari pertanyaan tersebut ketika perencanaan dan penganggaran pada setiap fase telah sesuai dengan konsep negara hukum yang dianut oleh negara kenapa harus cemas dan panik.
Kepanikan yang luar biasa besar hingga melahirkan pemikiran untuk menggunakan suatu kekuatan kekuasaan Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Perwakilan BPKP yang diyakini memiliki kesaktian yang akan memberikan rasa aman, yaitu aman dari ancaman hukuman atas kesalahan yang dilakukan dalam menyusun perencanaan pembangunan untuk mengatasi polemik angkutan yang ada. Perbuatan atau tindakan yang dilakukan dalam kepanikan hanya dipergunakan untuk menutupi kekurangan dan ketakutan atas sebuah kesalahan yang telah dilakukan, dan kesalahan adalah satu-satunya penyebab dari kegagalan dan/atau kekalahan.
Sederetan catatan kebijakan diatas dinilai tidak sama sekali memiliki kepastian hukum bahkan sebagai cara atau upaya menutupi perbuatan selama ± Sepuluh tahun (2012) sejak disyahkannya Peraturan Nomor 13 tahun 2012 tentang Pengangkutan Batubara yang dimaksud telah dengan sengaja melakukan tindakan pembiaran. Bahkan disinyalir janji politik yang disebut dengan sebutan Dua Miliar Satu Kecamatan (DUMISAKE) yang digadang-gadang sebagai jargon politik tidak mampu menutupi kecemasan dan kepanikan yang mendera pikiran.
Serta kepanikan yang disebabkan karena telah gagal untuk mewujudkan bentuk nyata dari campur tangan pemerintah dalam mencapai intisari cita-cita bangsa dan/atau tujuan negara sebagai penganut paham negara kesejahteraan (Welfare State) dan sebagai negara Hukum (Recht Staat).
Pada paham negara kesejahteraan pemerintah diberikan kewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan umum (bestuurszorg), yang untuk itu kepada pemerintah telah diberikan kewenangan untuk melakukan campur tangan (staatsbemoienis) dalam segala lapangan kehidupan masyarakat.
Sementara sebagai negara hukum (Recht Staat), setiap bentuk campur tangan dan/ataupun kebijakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai perwujudan daripada asas legalitas, yang menjadi sendi utama negara hukum, setiap perbuatan atau tindakan administrasi yang dilakukan harus didasarkan atas aturan (“rules andprocedures‟ (regels). Dengan begitu ketika perencanaan dan penganggaran pada setiap fase telah sesuai dengan kedua konsep hukum yang dianut oleh negara tersebut apalagi guna Pedapat hukum (Legal Opinian/LO) dari pihak Kejaksaan Tinggi dan pihak BPKP.
Oleh: Jamhuri – Direktur Eksekutif LSM Sembilan